SEKOLAH ladang potensial mendulang keuntungan." Betapa tidak, mekanisme pasar lebih mendominasi irama sekolah sepanjang tahun ajaran berlangsung. Bahkan, dikatakan sekolah tidak beda dengan suasana pasar tradisional. Semua bentuk transaksi pelaku pasar terjadi di sekolah, mulai jual beli ijazah, tawar-menawar biaya sumbangan, promosi bagi anak pejabat dan konglomerat, hingga hitung-hitungan untung untuk satu kursi belajar.
Pejabat Departemen Pendidikan, kepala sekolah, guru lebih mengambil peran sebagai pedagang, calo, makelar, belantik, rentenir daripada sebagai agen pemberi kebijakan, pemberi kecerdasan manusiawi, pelatih kedewasaan. Mereka malah menjadi agen kebohongan dan ideologi yang harus disebarluaskan oleh birokrat pemegang keputusan yang notabene adalah atasan guru. Pada gilirannya sekolah menjadi pasar paling potensial untuk dimasuki lewat birokrasi urusan pendidikan (hal 5).
Budaya semacam ini sudah saatnya ditinggalkan. Sekolah sudah saatnya dibebaskan dari suasana bisnis yang dilakukan siapa pun terlebih oleh birokrat pendidikan nasional, kepala sekolah, atau guru, dengan dalih apa pun. Karena menjadikan sekolah sebagai ladang mencari keuntungan lewat kain seragam, buku paket pelajaran, biro wisata, atau lembaga kursus, yang pada akhirnya hanya membebani masyarakat dengan berbagai pungutan. Mekanisme demikian itu mempunyai kontribusi sangat besar terhadap proses pemiskinan masyarakat yang sudah miskin.
Tepat apa yang dikatakan Friere, bahwa pendidikan pada tataran ini harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan (domestifikasi) sosial sebagaimana yang sering terjadi pada dunia ketiga, yaitu pendidikan sering dijadikan alat untuk melegitimasi kehendak penguasa terhadap rakyat yang tidak berkuasa. Untuk itu pendidikan harus menjadi aksi dan refleksi secara menyeluruh untuk mengubah realitas yang menindas. (Friere : 2001).
Sebab itulah St. Kartono melalui bukunya yang berjudul Sekolah Bukan Pasar menyampaikan berbagai pesan brilian, wawasan dan penyadaran kepada kita semua, sekaligus memberikan nutrisi nalar kritis yang selama ini terpasung oleh mitologi birokrasi pendidikan negeri ini. Sebuah pesan yang terangkum indah dalam catatan otokritik seorang guru ini sungguh layak dibaca bagi orang tua, guru, kepala sekolah, pengambil kebijakan, pengamat pendidikan, birokrat, mahasiswa dan siapa pun yang ingin "membebaskan", mencerdaskan, dan memajukan pendidikan.
Sekolah Bukan Pasar mengajari kita kaya "perspektif" bagaimana menafsirkan realitas persoalan pendidikan di lapangan menjadi lebih berarti. Values atau nilai-nilai keutamaan disajikan dalam potret yang utuh dalam konteks pendidikan di zaman kini. Nilai-nilai kejujuran, kebersamaan, kesahajaan, pengorbanan, kepedulian terhadap hak-hak anak, empati dan cinta kasih antarsesama menggerakkan para pembaca untuk menghidupkan kembali pendidikan negeri ini yang sedang mati suri.
Bagi guru jadilah manusia "pembebas". Tidak sekadar menjadi personifikasi intelektual an sich, tetapi mampu melakukan transinternalisasi nilai-nilai budi pekerti. Thomas Lickona (1991) dalam Educating for Caracter How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, transinternalisasi dapat dikembangkan melalui tiga dimensi secara terpadu yaitu: pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action).
Guru sebagai aktor utama dalam mengajarkan keutamaan tidak sekadar membebaskan dalam ranah pengetahuan saja. Lebih penting dari itu, yang mestinya dibekalkan adalah kebiasaan membentuk sikap hidup dan pilihan nilai-nilai keutamaan. Itu akan mungkin terjadi jika sejak dini guru membiasakan berfikir kritis-reflektif dari setiap persoalan dan pengalaman di lapangan. Pada gilirannya guru menjadi aktor utama memanusiakan manusia dan memberi suara lantang pada yang bisu.
Fakta yang tertuang dalam buku ini bisa dianggap sebagai penyemai benih kesadaran, bahwa sudah saatnya sekolah terbebas dari suasana "pasar". Pencampuradukan peran-peran pendidik dengan blantik akan merusak sistem pendidikan nasional dan tidak lagi terbedakan sekolah sebagai tempat mencari ilmu pengetahuan dengan pasar sebagai tempat berjual-beli, termasuk jual beli gelar (hal 7).
Akhirnya, buku ini patut diapresiasi sebagai usaha kritis seorang guru yang menyuarakan yang bisu di lapangan agar bisa terdengar oleh para penguasa pengambil kebijakan. Sekaligus sebagai upaya membuka wawasan dan penyadaran bagi masyarakat luas, khususnya para guru, kepala sekolah, pejabat Departemen Pendidikan agar usaha-usaha peningkatan pendidikan tidak lepas dari konteks kekinian dan proyeksi masa depan.
Jika insan pendidik semakin kaya perspektif sebagaimana yang disumbangkan penulis buku ini, dengan sendirinya akan lahir pemikiran-pemikiran illuminatif yang mampu menjawab problem riil pendidikan di zamannya.
SEKOLAH BUKA PASAR
Read User's Comments(0)
Menulis Tanpa Rasa Takut
Al-kisah, ketika seorang jurnalis senior mengeluh, ingin menjelajah negara-negara asing tetapi dana tidak ada, Profesor Sartono Kartodirdjo, begawan sejarah modern Indonesia, dengan serius mengatakan, “Mas, masih ingat kisah cowboy Amerika? Mereka mempunyai kalimat bersayap, have gun will travel. Untuk zaman sekarang, harus kita ubah menjadi have tulisan will travel. Maknanya, kalau Mas bersedia menyiapkan makalah, mempunyai rencana tulisan, pasti banyak orang bersedia mengundang”.
Spirit Pak Sartono inilah yang membangkitkan etos penulis buku ini untuk berlatih tanpa henti dalam merambah dunia kata-kata. St Kartono melihat penulis bukan pertama-tama dilahirkan, tetapi hasil sebuah pembelajaran. Petuah Pak Sartono dijalankannya dengan penuh khidmat, sehingga penulis tidak hanya bisa merambah dunia kata-kata yang selalu mengurung dirinya setiap waktu, tetapi akhirnya juga bisa travelling ke beberepa daerah di Indonesia. Travelling itu bahkan dijalankan dengan frekuensi yang cukup tinggi, tanpa abai dengan profesi utamanya sebagai seorang guru. Justru sebagai guru yang menulis, St Kartono bisa memberikan teladan kreatif para siswanya, tidak hanya menyuarakan pentingnya dunia tulis bagi siswanya, tetapi dia juga membuktikan diri selalu “tayang” tulisannya di berbagai media nasional di Indonesia.
limbah yang bergelimpah
Kayu
yang diambil dari salah satu bagian pohon ini memiliki banyak manfaat dalam
kelangsungan hidup manusia. Kayu yang dipergunakan adalah kayu yang berasal
dari pohon yang sudah cukup usia untuk di manfaatkan kayunya.
Saat
pohon-pohon sudah cukup usia dan ukuran batangnya juga sudah besar maka
pohon-pohon tersebut sudah siap untuk di tebang. Di jaman yang moderen ini
pemilik pohon tidah menebang pohon menggunakan kapak atau pun gergaji manual
mereka menggunakan gergaji mesin yang sudah modern, dengan alasan agar
mempersingkat waktu dan untuk mempermudah dalam penebangan. Saat penggergajian
pohon-pohon itu akan menghasilkan limbah organik. Limbah ini bernama serbuk
kayu atau orang-orang jawa menyebutnya sebagai tai graji.
Langganan:
Postingan (Atom)