Al-kisah, ketika seorang jurnalis senior mengeluh, ingin menjelajah negara-negara asing tetapi dana tidak ada, Profesor Sartono Kartodirdjo, begawan sejarah modern Indonesia, dengan serius mengatakan, “Mas, masih ingat kisah cowboy Amerika? Mereka mempunyai kalimat bersayap, have gun will travel. Untuk zaman sekarang, harus kita ubah menjadi have tulisan will travel. Maknanya, kalau Mas bersedia menyiapkan makalah, mempunyai rencana tulisan, pasti banyak orang bersedia mengundang”.
Spirit Pak Sartono inilah yang membangkitkan etos penulis buku ini untuk berlatih tanpa henti dalam merambah dunia kata-kata. St Kartono melihat penulis bukan pertama-tama dilahirkan, tetapi hasil sebuah pembelajaran. Petuah Pak Sartono dijalankannya dengan penuh khidmat, sehingga penulis tidak hanya bisa merambah dunia kata-kata yang selalu mengurung dirinya setiap waktu, tetapi akhirnya juga bisa travelling ke beberepa daerah di Indonesia. Travelling itu bahkan dijalankan dengan frekuensi yang cukup tinggi, tanpa abai dengan profesi utamanya sebagai seorang guru. Justru sebagai guru yang menulis, St Kartono bisa memberikan teladan kreatif para siswanya, tidak hanya menyuarakan pentingnya dunia tulis bagi siswanya, tetapi dia juga membuktikan diri selalu “tayang” tulisannya di berbagai media nasional di Indonesia.
Mentalitas menjadi penulis bagi St. Kartono haruslah dengan jiwa pemberani. Berani menulis, berani menyampaikan gagasan. Sapere aude, berani menyatakan pendapatnya, untuk bahkan menembus batas kanal intelektual. Pencerahan semestinya lahir dari gagasan-gagasan yang diuraikan para penulis. Keberanian ini terkadang bisa berseberangan dengan arus utama, yang seringkali memperhadapkan penulis dalam resiko yang mengenaskan. Newtonia, Cartesian , Marxian, Chayanovian, hingga Geertzian terus mengalirkan pencerahan yang bahkan mendobrak pendapat arus utama di masa kegelapan. Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Kholdun juga mencatatkan rumusan sebagai dasar perkembangan pengetahuan.
Sebagai guru, seringkali gagasan dalam tulisan St Kartono menabrak arus utama dunia pendidikan. Bahkan tulisan-tulisannya yang mengkritisi kebijakan pemerintah kerap membuat kebijakan pemerintah agak “kelimpungan”, karena tulisannya yang berani dengan terang-terangan menuduh kebijakan pemerintah tidak procedural, alias “serampangan”. Suatu waktu pada penghujung tahun 2008, tulisannya di media nasional mengkritik pemerintah yang mempermainkan guru untuk menunggu tunjangan profesi. Lambatnya tunjangan profesi ini sangat menyesakkan para guru, padahal guru hanya diberi waktu menyusun portofolio dalam seminggu. Guru diperas tenaganya menyusun portofolio, ternyata tunjangan sampai setahun lebih tidak turun. Padahal menurut ketentuan, sebulan setelah dinyatakan lolos, guru berhak mendapatkan tunjangan profesinya.
Tetapi yang terjadi bukanlah itu. Maka melayanglah tulisan St Kartono, dan akhirnya tayang di media nasional. Pagi itu juga, penulis didatangi pejabat pendidikan nasional tingkat Kabupaten Sleman. Ada kesan “marah” dan “tersinggung” para pejabat Diknas tersebut dengan isi tulisan yang dimuat. Penulis bukanlah menyabut kemarahan Dinas tersebut dengan amarah juga, tetapi justru mempersilahkan para pejabat tersebut untuk melakukan bantahan di media massa. Penulis hanya menginginkan perbaikan pemerintah dalam melayani para guru, bukan dengan mempermainkan guru. Kalau pemerintah tersinggung, maka penulis mempersilahkan hak jawabnya di media massa. Pemerintah selayaknya memberikan jawaban yang rasional, mempertanggungjawabkan yang dilakukan kepada public, dan mengklarifikasi beragam hal yang terakit dengan kebijakannya. Bukan dengan “marah” dan “tersinggung”.
Resiko seorang guru yang menyeberang dari arus utama memang seringkali berhadapan dengan arus kebijakan pemerintah. Tetapi resiko yang dijalani guru seperti menjadi sangat inspiratif bagi siswa-siswinya. Karena mental keberanian yang diteladankan akan menjadi menjadi motivasi siswanya untuk berjuang sebagaimana sang guru. Pastilah sekolah akan menjadi buah bibir public, siswa juga akan penasaran, dan sang guru yang menulis selalu menjadi langganan di media massa. Ini secara tidak langsung membekali siswa mentalitas keberanian dalam menyuarakan gagasan, tidak patah arang menghadapai berbagai kepentingan arus utama yang tidak seide.
Masih sedikit guru di Indonesia yang dengan berani menyuarakan gagasannya dalam tulisan. Buku ini menjadi sangat penting bagi para guru, sehingga sebagai ujung tombak kemajuan dunia pendidikan, guru bukan sekedar mengajar saja, tetapi juga mampu mendidik mentalitas siswa dalam menyuarakan pendapat. Bukan hanya, dengan menulis, guru juga bisa meningkatkan kesejahteraan. Problem tunjangan profesi selama ini sangat terkait dengan problem kesejahteraan guru, maka menulis bisa menjadi salah satu media guru dalam mencukupi kesejahteraannya. Terlebih, dunia tulis bukanlah dunia yang “jauh” dari profesi guru, tetapi sangat dekat dengan keseharian seorang guru, sehingga sangat memungkinkan seorang guru “berani” menulis, berani menyuarakan gagasan.